Jakarta, Hepatitis C merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan menyebabkan peradangan hati. Untuk mengatasinya, penderita kondisi ini biasanya diberi resep obat-obatan tertentu.
Namun baru-baru ini sebuah studi menemukan bahwa jika obat-obatan standar hepatitis C tersebut ditambahkan dengan suplemen vitamin B12 maka kombinasi pengobatan ini mampu meningkatkan kemampuan tubuh untuk menjauhkan virus penyebab penyakit tersebut.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Gut ini juga menunjukkan bahwa efeknya terasa sangat kuat pada pasien-pasien yang infeksinya terbukti sulit diobati secara efektif.
Padahal 60-80 persen pasien yang terinfeksi virus hati (HCV) akan terserang hepatitis kronis dan hampir sepertiga diantaranya akan berkembang menjadi sirosis dan penyakit hati terminal.
Standar pengobatan hepatitis C yaitu kombinasi pegylated interferon alpha (peg IFN) dan obat antivirus ribavarin memang bisa membersihkan virus infeksi hati (HCV) pada 50 persen pasien yang terinfeksi HCV genotipe 1 dan 80 persen pasien yang terinfeksi HCV genotipe 2 atau 3. Namun pendekatan ini gagal membersihkan virus dari separuh pasien yang terinfeksi HCV atau pasien yang mengalami kekambuhan jika sekali saja pengobatan ini dihentikan.
Sedangkan meski percobaan obat-obatan antivirus generasi baru menunjukkan potensi yang menjanjikan, sayangnya obat ini tergolong mahal dan lebih sulit dilakukan. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan terkait seefektif apa kinerja pengobatan ini, kata peneliti.
Studi ini merujuk pada penelitian eksperimental yang dilakukan satu dekade lalu yang menunjukkan bahwa vitamin B12 bisa jadi memiliki peranan penting dalam menekan HCV. Apalagi hati merupakan organ yang berfungsi sebagai pusat penyimpanan vitamin B12, namun kapasitas ini bisa terganggu oleh penyakit yang mempengaruhi organ secara langsung.
Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah penambahan vitamin B12 terhadap pengobatan standar akan memberikan perbedaan nyata bagi pasien.
Kemudian peneliti mengalokasikan 94 pasien infeksi HCV secara acak untuk menerima pengobatan standar atau pengobatan standar plus vitamin B12 (5000 ug atau 5 miligram setiap 4 minggu) selama 24 minggu (genotipe 2 dan 3) dan 48 minggu (genotipe 1).
Kemampuan tubuh untuk membersihkan virus dinilai setelah 4 minggu, 12 minggu, di minggu terakhir pengobatan dan minggu ke-24 setelah pengobatan dihentikan.
Tak ada perbedaan diantara kedua pendekatan pengobatan dalam 4 minggu, namun ada perbedaan respon yang signifikan pada minggu-minggu berikutnya, khususnya pada minggu ke-24 setelah pengobatan dihentikan. Hal ini tentu sesuai dengan target peneliti.
Efeknya juga terasa sangat signifikan bagi pasien pengidap strain HCV tipe 1 yang sangat sulit diobati.
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa penambahan vitamin B12 pada pengobatan standar memperkuat tingkat respon virus berkelanjutan (sustained viral response) sebesar 34 persen. Pengobatan standar yang ditambah vitamin B12 ini juga terbukti sebagai alternatif yang aman dan murah, khususnya bagi pasien yang mengidap strain virus yang sulit diobati.
"Strategi ini akan sangat bermanfaat di negara-negara dimana terapi antivirus generasi baru ini tak bisa diberikan secara rutin yaitu negara-negara yang kemampuan ekonominya terbatas," pungkas peneliti seperti dilansir dari medindia, Kamis (19/7/2012)
Namun baru-baru ini sebuah studi menemukan bahwa jika obat-obatan standar hepatitis C tersebut ditambahkan dengan suplemen vitamin B12 maka kombinasi pengobatan ini mampu meningkatkan kemampuan tubuh untuk menjauhkan virus penyebab penyakit tersebut.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Gut ini juga menunjukkan bahwa efeknya terasa sangat kuat pada pasien-pasien yang infeksinya terbukti sulit diobati secara efektif.
Padahal 60-80 persen pasien yang terinfeksi virus hati (HCV) akan terserang hepatitis kronis dan hampir sepertiga diantaranya akan berkembang menjadi sirosis dan penyakit hati terminal.
Standar pengobatan hepatitis C yaitu kombinasi pegylated interferon alpha (peg IFN) dan obat antivirus ribavarin memang bisa membersihkan virus infeksi hati (HCV) pada 50 persen pasien yang terinfeksi HCV genotipe 1 dan 80 persen pasien yang terinfeksi HCV genotipe 2 atau 3. Namun pendekatan ini gagal membersihkan virus dari separuh pasien yang terinfeksi HCV atau pasien yang mengalami kekambuhan jika sekali saja pengobatan ini dihentikan.
Sedangkan meski percobaan obat-obatan antivirus generasi baru menunjukkan potensi yang menjanjikan, sayangnya obat ini tergolong mahal dan lebih sulit dilakukan. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan terkait seefektif apa kinerja pengobatan ini, kata peneliti.
Studi ini merujuk pada penelitian eksperimental yang dilakukan satu dekade lalu yang menunjukkan bahwa vitamin B12 bisa jadi memiliki peranan penting dalam menekan HCV. Apalagi hati merupakan organ yang berfungsi sebagai pusat penyimpanan vitamin B12, namun kapasitas ini bisa terganggu oleh penyakit yang mempengaruhi organ secara langsung.
Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah penambahan vitamin B12 terhadap pengobatan standar akan memberikan perbedaan nyata bagi pasien.
Kemudian peneliti mengalokasikan 94 pasien infeksi HCV secara acak untuk menerima pengobatan standar atau pengobatan standar plus vitamin B12 (5000 ug atau 5 miligram setiap 4 minggu) selama 24 minggu (genotipe 2 dan 3) dan 48 minggu (genotipe 1).
Kemampuan tubuh untuk membersihkan virus dinilai setelah 4 minggu, 12 minggu, di minggu terakhir pengobatan dan minggu ke-24 setelah pengobatan dihentikan.
Tak ada perbedaan diantara kedua pendekatan pengobatan dalam 4 minggu, namun ada perbedaan respon yang signifikan pada minggu-minggu berikutnya, khususnya pada minggu ke-24 setelah pengobatan dihentikan. Hal ini tentu sesuai dengan target peneliti.
Efeknya juga terasa sangat signifikan bagi pasien pengidap strain HCV tipe 1 yang sangat sulit diobati.
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa penambahan vitamin B12 pada pengobatan standar memperkuat tingkat respon virus berkelanjutan (sustained viral response) sebesar 34 persen. Pengobatan standar yang ditambah vitamin B12 ini juga terbukti sebagai alternatif yang aman dan murah, khususnya bagi pasien yang mengidap strain virus yang sulit diobati.
"Strategi ini akan sangat bermanfaat di negara-negara dimana terapi antivirus generasi baru ini tak bisa diberikan secara rutin yaitu negara-negara yang kemampuan ekonominya terbatas," pungkas peneliti seperti dilansir dari medindia, Kamis (19/7/2012)